loe itu maunya apa???

Sabtu, 21 Februari 2009
Alkisah ada seorang kaya raya sedang mengadakan pesta di rumahnya di kawasan Menteng. Kayanya orang ini nggak kira-kira, duitnya bejibun, belon rumahnya di Menteng ama di Pondok Indah, punya banyak simpanan cewek, abis itu dia juga punya helikopter ama pesawat terbang. Pokoknya semuanya deh. Orangnya rada nyentrik. Kolam renangnya diisi banyak buaya. Lagi pada pesta di pinggir kolam, si doi berdiri di atas menara life guard supaya temen-temennya bisa ngeliat.

Terus dia suruh semuanya tenang dan berkata "Baiklah, orang pertama yang berani renang di kolam ini dari ujung ke ujung bakalan gue kasih semua duit gue."

Semua pada diem. Si kaya ngeliat ke temen-temennya dengan gemes lalu berkata "OK, orang pertama yang berani renang di kolam ini dari ujung ke ujung, gue kasih semua duit gue plus rumah gue."

Tetap nggak ada juga yang bereaksi. "OK, kalau gitu semua duit gue, rumah, mobil-mobil, pesawat terbang, semua milik gue, saham, surat berharga dan semua cewek gue, pokoke semua yang gue miliki."

SPLASH!!! Ada yang terjun! Buaya-buaya pada ngerubutin tapi dia berkelit aje kayak Tarzan. Berkelit ke sono-sini, berkelahi juge dengan buaya itu. Akhirnya nyampe juga di seberang. Si kaya turun dari life guard tower lalu berlari ke orang itu.

Kaya: "Gile lu! Hebat bener, gua nggak nyangka kalo ada yang berani ...melakukannya. Elu mau duitnya sekarang?"

Nekad: "Nggak! gue nggak mau duit!"

Kaya: "Elu mau rumahnya sekarang?"

Nekad: "Nggak! gue nggak mau rumahnya"

Kaya: "Elu mau mobil ama pesawatnya sekarang atau ntar?"

Nekad: "Nggak! gue juga nggak mau pesawat"

Kaya: "Elu minta saham atau surat berharga?"

Nekad: "Nggak! gue nggak mau"

Kaya: "Elu minta cewek gue?"

Nekad: "Nggak gue juge nggak mau itu"

Kaya: "Habis, elu itu maunya apa?????"

Nekad: "Gue mau tahu siapa bajingan yang dorong gue tadi!"

NAFAS EKONOMI SYARIAH DALAM SISTEM KAPITALISME

Jumat, 20 Februari 2009
Dekade ini boleh jadi periode keemasan bagi ekonomi syariah, terutama di Indonesia. Sejak tahun 2000 silam tak kurang 50 lembaga ekonomi berbasis syariah tumbuh dengan suburnya. Hal ini sangat wajar mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Sayangnya, di tengah gemebyar syariah, terselip berbagai kelemahan dan penyimpangan. Apalagi disinyalir lebih dari 80% dari lembaga yang ada belum mampu menjalankan prinsip-prinsip syariah secara utuh.
Kesalahan pertama adalah produk-produk syariah yang dipasarkan justru didominasi oleh produk-produk konsumsi. Murabahah, atau jual beli, entah itu berbentuk KPR, kredit kendaraan, dan sebagainya mendominasi tak kurang dari 70% produk syariah yang ada. Tak beda dengan kredit konsumsi tradisional. Hanya saja elemen bunga disamarkan dengan elemen biaya dan marjin profit. Mestinya, kalau mau fair, produk-produk lain seperti mudharabah, musyarakah, isthisma’, juga tak kalah gencarnya dipasarkan.
Dalam beberapa hal, masyarakat juga sering mengalami kesulitan dalam mengakses produk-produk syariah tersebut. Dengan persyaratan yang rumit serta birokrasi yang berbelit, lembaga syariah bergeser menjadi menara gading yang sulit dijangkau kaum grass root. Padahal, sejatinya, ekonomi syariah lahir untuk mewadahi kaum bawah tersebut.
Beberapa kalangan juga sering mengkritisi sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam pembentukan dan penunjukan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Seringkali lembaga-lembaga tersebut dicap sebagai produk formalitas belaka mengingat standardisasi skill dan capabilities orang-orang didalamnya tidak jelas. Dewan yang diharapkan dapat berkomitmen penuh dalam mengawasi produk, konsep, kinerja, maupun policy lembaga syariah kinerjanya sering mengecewakan. Anggota-anggotanya yang masih didominasi kyai-kyai sepuh, dirasa kurang mampu mengikuti pergerakan dan perkembangan ekonomi syariah yang bergerak dengan sangat cepatnya.
Di lembaga syariah sendiri, penunjukan dan pengelolaan sumber daya manusia (SDM) juga masih bias. Prinsip syariah, sejatinya membutuhkan 70% moral heavy, baru diikuti dengan knowledge dan appearance. Namun pada prakteknya, mereka justru dijejali hafalan-hafalan berbahasa arab dan diikutkan pelatihan instan. Terkadang etika bisnis dan konsep islami belum dikuasai secara komprehensif.
Celakanya, kekurangan-kekurangan ini makin diperburuk dengan sikap lembaga keuangan yang ada. Mereka memandang syariah semata-mata sebagai peluang pasar yang layak dimanfaatkan. Tindakan ini tentunya merupakan kejahatan ekonomi karena produk syariah menjadi alat para kapitalis untuk mengeduk untung sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya. Keberpihakan dan komitmen mereka terhadap kelangsungan dan perkembangan syariah itu sendiri masih patut dipertanyakan.
Lebih parah lagi, beberapa bank membuka divisi syariah hanya untuk nasabah privat yang memiliki dana tak kurang dari Rp 500 juta. Jika demikian, tentunya keberpihakan lembaga keuangan menjadi diskriminatif dan tak lagi berperan pada kelangsungan hidup kaum grass root. Kapitalisme, dalam hal ini, dibalut dengan simbol-simbol syariah untuk kepentingan pemilik modal.
Sad, but true.

MAHASISWA,PEDULI ATAU APATIS

Mahasiswa…. Sebuah kata yang mengandung banyak arti, bahkan sudah banyak kalangan yang berusaha mengartikan kata tersebut, baik mahasiswa itu sendiri, praktisi pendidikan, para ahli maupun Pemerintah sendiri. Begitu banyaknya arti dari kata Mahasiswa sehingga menimbulkan banyak pandangan dan hal tersebut adalah benar semua. Akan tetapi kadang kita terlupakan dari mana kata Mahasiswa itu terbentuk. Mahasiswa terbentuk dari dua kata yakni kata Maha dan Siswa, yang jika diartikan Maha sama artinya dengan Yang dan Siswa artinya Pelajar, jadi Mahasiswa sama saja bila dikatakan Yang Terpelajar.

Kita sebagai Mahasiswa yang diartikan sama dengan Yang Terpelajar tentu bertanya-tanya apa sih yang dimaksud dengan Yang Terpelajar itu ???
Untuk menjawab hal tersebut silahkan rekan-rekan Mahasiswa mengartikannya sendiri karena pandangan kita mungkin berbeda-beda dan semuanya bisa benar karena Mahasiswa itu unik.

Kami hanya ingin mengangkat satu aspek dari Mahasiswa (Yang Terpelajar) itu yakni aspek peduli akan lingkungan disekitarnya.
Di Kampus Tercinta kita (UNHAS) berkembang suatu pandangan yang mengatakan sebagian Mahasiswa bersikap APATIS terhadap perkembangan Kampus. Baik itu terhadap Lembaga Kemahasiswaan, birokrasi,maupun yang lainnya.

Apakah kita termasuk Mahasiswa APATIS itu ??? yang oleh kamus besar Indonesia APATIS sama artinya acuh tak acuh. Apakah kita rela dikatakan begitu ??? atau memang kondisi Mahasiswa UNHAS demikian adanya. Sebagaimana yang terlihat kenyataanya di lapangan dimana Mahasiswa tidak pernah datang (Jarang) ke Lembaga Kemahasiswaan yang merupakan tempat penyampaian aspirasi Mahasiswa sehingga berkembang isu bahwa Lembaga Kemahasiswaan hanyalah tempat menyalurkan aspirasi kelompok/golongan tertentu. Dan juga kebijakan-kebijakan (baik itu fasilitas-fasilitas, Dosen dan lain-lain) BIROKRAT yang kita terima begitu saja walaupun dalam hati kita menentang kebijakan-kebijakan tersebut. Ataukah dari pihak rektorat sebagai pengelola dana dari Mahasiswa yang kita turuti apa saja maunya.

Sekarang mungkin saatnya untuk menilai diri kita apakah kita termasuk ke dalam bagian tersebut diatas ataukah kita bukan bagian dari hal tersebut.
Sebagai Mahasiswa tentu saja kita tidak mau termasuk ke bagian Mahasiswa Apatis. Tentu saja kita masih cinta dan peduli akan kampus kita. Maka dari itu marilah kita tunjukkan bahwa kita masih peduli akan Kampus Tercinta kita.
HIDUP MAHASISWA....